IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
JAMBI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik
Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga
negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat
dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama,
dan gender. Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia
memiliki keterampilan hidup (life skills) sehingga memiliki kemampuan untuk
mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya
masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila.
Kebijakan atau sebagian
orang mengistilahkan kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan
istilah policy. Hal tersebut barangkali dikarenakan sampai saat ini
belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy ke dalam Bahasa
Indonesia. Menurut Hoogerwerf dalam Sjahrir (1988 : 66) pada hakekatnya
pengertian kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan
upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara
tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. James E. Anderson (1978 : 33),
memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat,
kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu.
Dalam kamus Webster (Solichin Abdul
Wahab, 1997 : 64) pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to
implementasi" (mengimplementasikan) berarti “to provide means for
carrying out; to give practical effec to” (menyajikan alat bantu untuk
melaksanakan; menimbulkan dampak / berakibat sesuatu). Dalam studi kebijakan
publik, dikatakan bahwa implementasi bukanlah sekedar bersangkut-paut dengan
mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur
rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi
menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu
kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa
implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan
proses kebijakan. implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan
atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target group, namun lebih
dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang
berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya terdapat
dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan kebijakan?
2.
Bagaimana tahapan implementasi kebijakan?
3.
Factor apa
saja yang mendukung
implementasi kebijakan?
4.
Apa saja model implementasi
kebijakan?
5.
Bagaimana keberhasilan suatu
implementasi kebijakan?
6.
Bagaimana kegagalan suatu
implementasi kebijakan?
7.
Bagaimana implementasi kebijakan
sekolah gratis?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui
apa itu kebijakan
2.
Mengetahui
tahapan implementasi kebijakan
3.
Mengetahui
faktor apa saja yang mendukung implementasi kebijakan
4.
Mengetahui model apa dalam
implementasi kebijakan
5.
Mengetahui keberhasilan suatu
implementasi kebijakan
6.
Mengetahui kegagalan suatu
implementasi kebijakan
7.
Mengetahui implementasi kebijakan
sekolah gratis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Implementasi
Dalam kamus
Webster (Solichin Abdul Wahab, 1997 : 64) pengertian implementasi dirumuskan
secara pendek, dimana “to implementasi" (mengimplementasikan)
berarti “to provide means for carrying out; to give practical effec to” (menyajikan
alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak / berakibat sesuatu). Dalam
studi kebijakan publik, dikatakan bahwa implementasi bukanlah sekedar
bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke
dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan
lebih dari itu implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa
yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu
salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat
penting dalam keseluruhan proses kebijakan.
2.2 Tahap-tahap
Implementasi Kebijakan
Tahap-tahap Implementasi Kebijakan antara lain sebagai berikut:
1. Mengidentifikasikan
masalah yang ingin diatasi,
2. Menyebutkan
tujuan atau sasaran yang ingin dicapai secara tegas,
3. Menstrukturkan
atau mengatur proses implementasinya.
Implementasi mengacu pada tindakan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan,
tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi
pola-pola operasional serta berusaha mencapai perubahan-perubahan besar atau
kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi pada
hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah
program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi
yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga
menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran
praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses
tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:
1. Tahapan
pengesahan peraturan perundangan;
2. Pelaksanaan
keputusan oleh instansi pelaksana;
3. Kesediaan
kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan;
4. Dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki
atau tidak;
5. Dampak
keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana;
Dengan demikian jika terdapat
penyimpangan atau pelanggaran dapat diambil tindakan yang sesuai dengan segera.
Jadi implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan
waktu dan pengawasan, sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin
Abdul Wahab, yaitu mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha
untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan
atau dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi
setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha
untuk mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada
masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembagalembaga yang
bertanggung jawab atas sasaran (target grup) tetapi juga memperhatikan berbagai
kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan
negara.
2.3 Faktor-faktor
Pendukung Kebijakan
Faktor-faktor
Pendukung Kebijakan Menurut Warwick (1979), pada implementasi terdapat
dua kategori faktor yang bekerja dan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan
proyek yaitu:
1)
Faktor pendorong (facilitating conditions);
a.
Komitmen pimpinan politik: dalam
praktek adalah terutama komitmen dari pimpinan pemerintah karena pimpinan
pemerintah pada hakekatnya tercakup dalam pimpinan politik yang berkuasa
didaerah.
b.
Kemampuan Organisasi: dalam tahap implementasi
program hakekatnya dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas,
seperti yang ditetapkan atau dibebankan pada salah satu unit organisasi.
c.
Komitmen Para Pelaksana (Implementers):
salah satu asumsi yang sering kali terbukti keliru ialah jika pimpinan telah
siap untuk bergerak, maka bawahan akan segera ikut.
2)
Faktor penghambat (impeding conditions).
a.
Banyaknya ‘Pemain’ (actors) Yang Terlibat
Semakin banyak pihak yang terlibat dan turut mempengaruhi pelaksanaan, makin
rumit komunikasi makin besar kemungkinan terjadinya ‘delay’ hambatan dalam
proses pelaksanaan.
b.
Terdapatnya
Komitmen atau Loyalitas Ganda
Dalam banyak kasus terjadi, pihak yang terlibat maupun seseorang yang
seharusnya ikut berperan demi keberhasilan dalam menentukan ataupun menyetujui
suatu proyek dalam pelaksanaannya masih mengalami penundaan karena adanya
komitmen terhadap proyek, waktunya tersita oleh tugas-tugas lainnya atau
program lain.
2.4 Model Implementasi Kebijakan
Konsep
model implementasi kebijakan model implementasi yang dikembangkan oleh para
ahli banyak sekali, unruk lebih memahaminya dapat dilihat dari pembahasan
berikut :
1. Model Pendekatan Top-Down
Model implementasi Top-Down (model
rasional) digunakan untuk mengidentifikasi faktor–faktor yang membuat
implementasi sukses. Van Meter dan Van Horn (1978) berpandangan bahwa dalam
implementasi kebijakan perlu pertimbangan isi dan tipe kebijakan. Hood (1976)
menyatakan implementasi sebagai administrasi yang sempurna. Gun (1978)
menyatakan ada beberapa syarat untuk mengimplementasikan kebijakan secara
sempurna. Grindle (1980) memandang implementasi sebagai proses politik dan
administrasi. Mazmanian dan Sabatier (1979) melihat implementasi dari kerangka
implementasinya.
Van Meter dan Van Horn (Abdul Wahab,
1997), memandang implementasi kebijakan sebagai those actions by publik or
provide individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives
set forth in prior policy decision (tindakan– tindakan yang oleh
individu–individu / pejabat–pejabat atau kelompok–kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan–tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan). Dalam teorinya, Van Meter dan van Horn beranjak dari
suatu argumentasi bahwa perbedaan–perbedaan dalam proses implementasi akan
dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilakukan.
Selanjutnya keduanya menawarkan
suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan
prestasi kerja (performance). Mereka menegaskan pendiriannya bahwa perubahan,
kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep–konsep penting dalam prosedur–prosedur
implementasi.
2. Model
Pendekatan Bottom-Up
Pendekatan Bottom-Up ini sering pula
dianggap sebagai lahan harapan (promised
land), bertolak dari pengidentifikasian kerangka aktor-aktor yang terlibat
dalam “service delivery” di dalam
satu atau lebih wilayah lokal dan mempertanyakan kepada mereka tentang arah,
strategi, aktivitas dan kontak-kontak mereka. Selanjutnya model ini menggunakan
“kontak” sebagai sarana untuk mengembangkan teknik network guna mengidentifikasi aktor-aktor lokal, regional dan nasional
yang terlibat dalam perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan program pemerintah
dan non pemerintah yang relevan. Pendekatan ini menyediakan suatu mekanisme
untuk bergerak dari street level
bureaucrats (the bottom) sampai
pada pembuatan keputusan tertinggi (the
top) disektor publik maupun privat. Dalam hal ini kebijakan dilakukan
melalui bergaining (eksplisit atau implisit) antara anggota-anggota organisasi
dan klien mereka. Dalam pendekatan Bottom-Up
pun masih menemukan kelemahan, karena asumsinya bahwa implementasi
berlangsung di dalam lingkungan pembuatan keputusan yang terdesentralisasi,
sehingga pendekatan ini keliru dalam menerima kesulitan empiris sebagai
statemen normatif maupun satu-satunya basis analisis atau komplek masalah
organisasi dan politik. Selain itu petugas lapangan tentu pula melakukan
kekeliruannya. Karena itu berbahaya untuk menerima realitas deskriptif yang
menunjukan bahwa birokrat lapangan membuat kebijakan.
3.
Model Pendekatan Sintesis (Hybrid Theories)
Model pendekatan yang dikembangkan
oleh Sabatier sintesanya mengkombinasikan unit analisis bottom-upers, yaitu
seluruh variasi aktor publik dan privat yang terlibat didalam suatu masalah
kebijakan, dengan top-downers, yaitu kepedulian pada cara-cara dimana
kondisi-kondisi sosial ekonomi dan instrumen legal membatasi perilaku.
Pendekatan ini tampaknya lebih berkaitan dengan konstruksi teori daripada
dengan penyediaan pedoman bagi praktisi atau potret yang rinci atas situasi
tertentu.
2.5 Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif
proses implementasi dan perspektif hasil.
a.
Perspektif proses: program pemerintah
dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan
pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara
pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program.
b.
Perspektif hasil: program dapat dinilai
berhasil manakala program membawa dampak seperti
yang diinginkan.
Suatu program mungkin saja berhasil
dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang
dihasilkan atau sebaliknya.
2.6 Kegagalan Implementasi Kebijakan
Hoogwood
dan Gunn membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure ) atas non implementation (tidak
terimplementasikan) dan unsuccessful
implementation (implementasi yang tidak berhasil) adalah sebagai berikut:
a.
Tidak terimplementasikan: suatu
kebijakan tidak dilaksanakan sesuai denganrencana, mungkin karena pihak-pihak
yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama atau mereka
telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka
tidak sepenuhnya menguasai permasalahan. Kegagalan ini lebih pada
faktor teknis pelaksanaan dan unsur pelaksana.
b.
Implementasi
yang tidak berhasil: tidak mencapai hasil
tertentu manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai
dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan
(misalnya tiba– tiba terjadi
peristiwa pergantian kekuasaan, bencana alam dan sebagainya) kebijaksanaan
tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasilakhir
yang dikehendaki.
c.
Kebijakan yang memiliki resiko
untuk gagal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
pelaksanaannya jelek (bad
execution ), kebijakannya sendiri jelek (bad policy )
atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck).
2.7 Implementasi
Kebijakan Program Sekolah Gratis
Sekolah Gratis merupakan program
pemerintah untuk membebaskan biaya sekolah dari Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Sekolah gratis adalah harapan
baru bagi anak-anak miskin yang sebelumnya tidak memiliki harapan dan tidak
berani bermimpi bisa mengenyam pendidikan. Isu sekolah gratis telah lama
didengungkan oleh pemerintah. Kini kebijakannya telah terealisasi dan sedang
gencar-gencarnya disosialisasikan lewat berbagai media. Kebijakan sekolah
gratis ini merupakan bentuk realisasi anggaran pendidikan 20% yang sejak
dulu digodok parlemen. Masyarakat tentu senang dengan adanya sekolah gratis.
Pendidikan yang mahal dan sulit semakin sirna. Mereka bisa lebih lega dalam
menyekolahkan anak-anaknya.
Kebijakan yang baru-baru ini telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat, mengenai pembebasan biaya sekolah di tingakat
SD dan SMP baik negeri maupun swasta. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan
program kerja pemerintah. Selain dari itu juga dalam rangka meningkatkan SDM
yang berkualitas dan mampu berkompetisi dalam kancah nasional maupun
internasional. Dalam menetapkan kebijakan tersebut pemerintah tidak serta merta
asal dalam menetapkan kebijakan tersebut. Pastinya pemerintah mengambil
keputusan tersebut dengan penuh pertimbangan dan pemikiran yang cukup matang
demi mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia yaitu yang tercantum dalam
UUD 1945 yang berbunyi, “ Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Cita-cita tersebut dapat
tercapai apabila pemerintah dan seluruh masyarakat mampu bekerjasama demi
mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia.
Setiap anak didik berhak mendapat pendiidikan sesuai dengan agama, bakat / minat,
dan kemampuan (fisik, psikologis, ekonomi), serta berkewajiban, menjaga norma
pendidikan serta menanggung biaya penyelenggaran Sekolah gratis memang sangat
membantu masyarakat sesuai undang-undang dasar bahwa pendidikan dijamin oleh
negara. Namun dari rasa senang dan bangga adanya kebijakan sekolah gratis,
berbagai kalangan ragu tentang pelaksanaan kebijakan yang sejak dulu diharapkan
ini.
Ada beberapa kekhawatiran tentang sekolah gratis ini, salah satunya tentang
anggaran. Yang jelas anggaran untuk operasional sekolah dan biaya lainnya
tidak cukup. Sehingga ujung-ujungnya para orang tua masih perlu mengeluarkan
biaya untuk menutupi kekurangan tersebut. Jika demikian, maka sekolah gratis
ini tidak 100% karena masyarakat masih mengeluarkan biaya sekolah walaupun
kecil. Karena kenyataannya banyak daerah yang menarik dana alokasi pendidikan
di daerahnya begitu tahun dana BOS turun. Daerah menganggap BOS sudah cukup
memenuhi kebutuhan dana bagi terlaksananya kebijakan sekolah gratis tersebut.
Banyak sekolah mengeluhkan dana BOS bagi terwujudnya kebijakan sekolah
gratis. Hal ini dikarenakan BOS hanya digunakan untuk membiayai kegiatan
akademik saja. Untuk kegiatan ekstrakurikuler, dana BOS tidak cukup untuk
memenuhinya karena terserap penuh untuk kegiatan akademik. Dalam kenyataannya,
kegiatan ekstrakurikuler sangat menunjang kegiatan akademik sekolah. Karena dengan
ekstrakurikuler, kualitas sekolah akan terlihat bermutu atau tidak, seperti
halnya kegiatan lomba, kualitas sebuah sekolahan akan terlihat disitu.
Di sisi guru, dampak adanya sekolah gratis ini akan begitu nyata.
Persoalannya sama, masalah insentif. banyak guru kehilangan insentifnya karena
dihapus sejak pemberlakuan kebijakan sekolah gratis ini. Padahal bagi guru yang
belum diangkat atau honorer, insentif sangat berarti karena ada pemasukan
tambahan, terutama bagi guru yang mengampu kegiatan ekstrakurikuler. Kini
insentif itu diperoleh dari dana BOS hanya jika kegiatan saja. Kegiatan
seperti mengawasi ulangan umum pun honornya tidak seberapa.
Insentif/gaji merupakan salah satu motivasi bagi guru dalam mengajar.
Hal ini telah diteliti dari dulu hingga sekarang bahwa motivasi guru sangat
berpengaruh terhadap kinerja guru dalam proses pembelajaran. Guru yang
termotivasi akan memberikan pembelajaran segenap kemampuannya. Begitu juga
sebaliknya, jika motivasi tidak ada, akan berdampak pula dalam pembelajaran
yang kurang. Akibatnya, siswa sebagai objek pembelajaran akan terganggu pula
dalam proses penyerapan ilmu dalam kegiatan belajar mengajar.
Dalam mengeluarkan kebijakan, agaknya lebih dahulu melakukan berbagai
pertimbangan. Seperti kebijakan sekolah gratis ini dirasa perlu pendalaman dan
observasi untuk mengkaji lebih jauh tentang baik tidaknya kebijakan ini
diterapkan sekarang, kebijakan sekolah gratis ini seakan dipaksakan (belum ada
persiapan matang) dan bermuatan politis. Namun, dengan kenyataan seperti ini
kebijakan selanjutnya adalah segera mengevaluasi kebijakan sekolah gratis dan
memperbaikinya disana sini. Sehingga perwujudan sekolah gratis yang
diperuntukan demi rakyat akan lebih terasa tanpa beban apapun.
Dampak lain dari kebijakan ini adalah pemenuhan sarana prasarana. Sarana
prasarana sangat dibutuhkan dalam pembelajaran. Dengan adanya kebijakan sekolah
gratis ini bagaimana untuk pemenuhan sarana prasarana? Dampak kebijakan ini
memang polemic sekali. Diuntungkan tapi dirugikan juga. Ruginya jika sekolah
memungut biaya isu tak sedap menyebar apalagi sampai terdengar pengawas bahkan
LSM.
Sebuah keputusan atau kebijakan lahir dari sebuah pemikiran panjang dan
penuh pertimbangan. Sama halnya dengan kebijakan sekolah gratis. Peristiwa
tersebut kedengarannya sangat biasa tetapi pada kenyatannya adalah sebuah
peristiwa besar yang perlu kita kaji dan fikirkan bersama. Dimana peristiwa
tersebut dapat mempengaruhi maju mundurnya suatu Negara. Karena program sekolah
gratis tersebut dapat melahirkan para pewaris bangsa yang berkualitas maupun
yang bobrok. Dibalik semua itu tergantung para pengolah ( pendidik) dalam
mengelolanya dengan baik agar menghasilkan SDM yang berkualitas, bukannya SDM
yang hanya mampu mencoreng nama baik bangsa saja
Alhasil kebijakan sekolah gratis mampu memberikan dampak yang positif demi
tercapainya cita-cita nasional, yang mana kebijakan tersebut dapat memberikan
sedikit titik terang bagi dunia pendidikan yang selama ini sangat kurang sekali
perhatiannya oleh pemerintah. Adapun dampak yang mampu ditimbulkan dari sekolah
gratis ini, diantaranya :
1.
Mampu memberikan peluang dan
kesempatan bagi anak-anak yang kurang mampu untuk dapat mengenyam bangku
pendidikan yang selama ini hanya ada dalam bayangan dan angan-angan mereka saja
2.
Mampu meningkatkan mutu pendidikan
kedepannya
3.
Mampu mengurangi tingkat kebodohan,
pengangguran, dan kemiskinan
4.
Mampu menghasilkan SDM yang
berkualitas
5.
Mampu mewujudkan cita-cita nasional
bangsa Indonesia yaitu ikut mencerdaskan anak bangsa.
Dari sebuah keputusan yang besar seperti “Kebijakan Sekolah Gratis”
tersebut selain mampu memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, juga
dapat memberikan dampak negatif dari adanya penetapan kebijakan tersebut,
diantaranya :
1.
Dengan program sekolah gratis rakyat
yang masih awam akan berfikiran bahwa mereka hanya cukup dengan menyekolahkan
anak-anak mereka sampai tingkat SD atau SMP saja.
2.
Biaya yang digratiskan hanyalah
biaya administrasinya saja, sehingga menimbulkan peluang untuk terjadinya
penyalahgunaan dari pihak-pihak sekolah yang tidak bertanggung jawab, misalnya
mau tidak mau siswa dipaksa untuk membeli buku-buku pelajaran , LKS, dan biaya
Bimbel yang akhirnya tetap tidak gratis juga
3.
Menimbulkan sebagian Peserta didik
berlaku seenaknya dalam hal belajar ataupun pembiayaan.
4.
Apabila sekolah membutuhkan dana
untuk keperluan pengadaan peralatan yang mendadak akan keteteran.
Untuk meningkatkan mutu sekolah dan meningkatkan output yang lebih baik,
harus ada sinergi yang bagus antara kepala sekolah dengan komite sekolah yang
diwakili oleh masyarakat. Kepala sekolah bertanggung jawab atas seluruh
pengelolaan sekolah, baik yag bersifat internal maupun eksternal sekolah, namun
satu sisi pula, komite berhak memberikan berbagai pertimbangan atas rancangan
yang dibuat oleh kepala sekolah beserta jajarannya. Terjadinya interaksi antara
kepsek dan komite sekolah inilah yang dikatakan hubungan social budaya dalam
pendidikan. Dengan adanya sinergi yang baik antara kepsek dan komite sekolah,
maka akan dapat menghasilkan sebuah program sekolah yang baik.
Komentar
Posting Komentar